MA'HAD ISLAM TERPADU AL- KHAIRIYYAH, SEKOLAH DAN PONDOK PESANTREN.....................DENGAN MOTTO: BERILMU AMALIYAH - BERAMAL ILMIYAH - MENJAGA UKHUWWAH ...........................YAYASAN MIT ALKHAIRIYYAH KARAWANG MENERIMA SEGALA BENTUK DONASI YANG HALAL DAN TIDAK MENGIKAT; MELALUI BANK JABAR . No. Rekening : 0014732411100 atas nama : Pondok Pesantren Al-Khairiyyah Karawang...........................Facebook: khaeruddin khasbullah.....

SEPUTAR AL-KHAIRIYYAH (facebook:: https://www.facebook.com/khaeruddin.khasbullah)

Senin, 27 November 2017

AN- NABR - INTONASI MENINGGI DALAM MEMBACA SUATU LAFADH.



AN- NABR
Hasil gambar untuk As Sudais jadi imam di Istiqlal
Oleh: H.Khaeruddin Khasbullah


ﺍﻟﻨﺒﺮ ﻟﻐﺔ ﺍﻟﻬﻤﺯ ﺃﻭ ﺸﺪﺓ ﺍﻟﺻﻴﺎﺡ
An- Nabr, secara bahasa artinya: Hamzah, atau "menghentak".

ﻭﺍﺻﻄﻼﺤﺎ ﻫﻭ ﺍﻟﺿﻐﻄ ﻋﻟﻰ ﻤﻘﻄﻊ ﺍﻭ ﺤﺭﻒ ﻤﻌﻴﻦ ﺒﺤﻴﺚ ﻴﻜﻭﻥ ﺻﻭﺗﻪ ﺃﻋﻟﻰ ﺒﻗﻟﻴﻝ ﻤﻤﺎ ﺟﺎﻭﺯﻩ ﻤﻥ ﺍﻟﺣﺭﻭﻒ
Secara istilah artinya: Meninggikan suara sedikit ketika mengucapkan sebuah lafadh Al- Qur’an.
An- Nabr termasuk dari bagian kesempurnaan membaca Al- Qur’an. Oleh karena itu tidak banyak kitab- kitab tajwid yang membahas tentang An- Nabr, karena hanya TAKMILIYYAH/ kesempurnaan/ kesunahan, bukan sesuatu yang wajib diamalkan.

An- Nabr dilakukan pada lima tempat, yaitu:

1.       Ketika mewaqofkan huruf bertasydid, 
(     الوقف على الحرف المشدد )
seperti:

على النبِيِّ  -  مستقَرٌّ -  مد الظلِّ         


An- Nabr tidak berlaku pada:

a-       Nun dan Mim bertasydid, (الوقف على النون و الميم المشددتين ) seperti:

منهُنَّ –  ولكِنَّ  -  عمَّ  -  في اليَمِّ  

b-      Huruf Qolqolah bertasydid, (الوقف على الحرفالمشدد المقلقل) seperti:

بالحَقِّ  -  بالحَجِّ  -  وتَبَّ                 


2.       Ketika mewaqofkan Hamzah yang didahului dengan huruf mad,
 (عند الوقف على همزة متطرفة بعد حرف مد أو لين)    

 seperti:

من السماء  -  من سوء  -  من شئ  -  هؤلاء    



3.      Ketika mengucapkan huruf Wau bertasydid sebelumnya dhommah  - atau fatkhah dan Ya’ yang bertasydid sebelumnya kasroh,
(عند النطق : - بواو مشددة قبلها مضموم أو مفتوح مثل : القـُوَّة – قَـَوَّامون       
   -
بياء مشددة قبلها مكسور أو مفتوح مثل : إِيَّاك – سَيَّارة
)
seperti:

حيّيتم بتحيّة  -  في أمنيّته  -   نعم العبد انه أوّاب  - أولى قوّة       
         
4.       Ketika pindah dari Mad ke huruf bertasydid (mad lazim kilmi mutsaqqol) 
(في حالات المد الذي يليه حرف ساكن الأول (من المشدد) الانتقال من حرف المد       
 إلى الحرف الساكن        :), 
seperti:

الحاقّة  - من دابّة  -  ولا الضالّين  -  عليها صوافّ        

Hati- hati !

Jangan berlebihan menghentak  sehingga terkesan muncul huruf baru.  Sering terjadi pada surat Al Fatikhah ketika mengucapkan “Dhooolliina” yang terlalu menghentak.

5.       Apabila ada Alif Tastniyyah yang bertemu AL makrifat untuk memberi kesan adanya tastniyyah disana,
     (وهذه الحالة تختص بثلاث كلمات في ثلاث مواضع بعينها في القرآن الكريم وهي:


seperti: - ذاقا الشجرة ( الأعراف ) - واستبقا الباب ( يوسف ) - و قالا الحمد لله ( النمل) 
)

Kecuali lafadh (   دعوا الله ربهما  ) karena dibelakangnya ada kalimat (ربهما  ) dengan dhomir yang menunjukkan bahwa pelaku yang berdo’a adalah dua orang, jadi tidak perlu melakukan AN- NABR.

Catatan:

Selama ini ketika mengajarkan Huruf Muqottho’ah pada Fawatihus Suwar, ada kesan An- Nabr, setiap berpindah  dari hurf  ن ق ص  ع س  ل ك م , dengan tujuan agar anak didik mengucapkan dengung atau Idlhar Syafawi dengan jelas tepat setelah selesai mengucapkan huruf sebelumnya yang panjang 3 alif. Mulai sekarang secara bertahap, An- Nabr yang dilakukan, dan tidak bersesuaian dengan kaedah diatas agar mulai dihilangkan ketika menginjak pada pelajaran yang lebih tinggi (pindah jilid 5 dst)..



هذا البحث مأخوذ من محاضرات الدكتور أيمن رشدي سويد

Disampaikan ulang pada MMQ bulanan- Korcab Karawang, 10- 09/ 2017, di Mesjid An- Nur, Griya panorama Indah Purwasari, Karawang.

Senin, 20 November 2017

TASLIM = BAI'AT

TASLIM = BAI'AT
Oleh: H. Khaeruddin Khasbullah







TASLIM = BAI’AT.


Makna
Kata Taslim berasa dari akar kata Sallama – Yusallimu – Tasliiman, artinya tunduk dan patuh. Dikatakan سلَّمَ الشَّخصُ : استسلم ، انقاد بدون مقاومة…. seseorang telah taslim berarti ia telah tunduk tanpa reserve.


Pernyataan ketundukan itu dilakukan dengan cara berbaiat dihadapan orang yang ia telah tunduk padanya dengan datang, bersalaman (bagi lelaki), diawali dengan mengucap dua kalimat syahadat dan berikrar mengucapkan ke taslimannya.


Ibnu Khaldun mengatakan dalam kitabnya, Al Muqadimah,”Bai’at ialah janji untuk taat. Seakan-akan orang yang berbai’at itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan kepadanya segala kebijaksanaan tentang urusan dirinya dan urusan kaum muslimin, sedikitpun tanpa menentangnya; serta taat kepada perintah pimpinan yang dibebankan kepadanya, suka maupun tidak.”



Hadist dan Tarikh/ Sejarah Tentang Baiat.

Pada periode awal, setiap sahabat yang masuk Islam baik lelaki atau wanita, mereka berbaiat dihadapan Rasul SAW dan berikrar Taslim/tunduk menyerah kepada Allah dan baginda Rasululloh. Sebagaimana firman Allah :


فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا. ألنساء 65
“………..dan merekaTaslim/ tunduk dengan sebenar- benar tunduk” QS.An- Nisa’ 65


Dalam sebuah hadist dinyatakan:
من مات و ليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية . رواه مسلم 1851
Rasululloh menyatakan: “barang siapa mati dan dia belum berbaiat, maka matilah ia dalam keadaan jahiliyyah”.HR. Muslim.

Dan masih banyak lagi hadist yang senada dengan itu.

Syekh Ibnu hajar Al- Atsqolany dalam Fatkhul Bary Syarah Sohih Bukhory menjelaskan tentang makna kalimat “mati dalam keadaan jahiliyyah”:

كموت أهل الجاهلية على ضلال وليس ‏لهم إمام مطاع، لأنهم كانوا لا يعرفون ذلك، وليس المراد أنه يموت كافراً بل يموت ‏عاصياً،

“Yakni seperti matinya kaum jahiliyyah yang tersesat tak punya pemimpin yang ditaati, karena mereka tidak tahu pentingnya ketundukan kepada pemimpin, maknanya bukan berarti dia mati kafir, tapi ia mati dalam keadaan maksiyat,….”.


Berbaiat Dengan Bersalaman (bagi laki- laki) Tidak Dilakukan Ketika Takluknya Kota Mekah.

Ikrar taslim/ tunduk dengan cara berbaiat dihadapan Rasul itu dilakukan oleh para sahabat Nabi sampai saat takluknya kota Mekah. Maka ketika Makkah takluk dan manusia berbondong bondong memasuki agama Islam, tak mungkin lagi Rasulullah menyalami mereka satu persatu, namun cukup dengan membuktikan diri mereka tunduk dan patuh kepada semua yang telah ditetapkan oleh Rasululloh. Ini sebagai dalil bahwa baiat secara berhadapan itu tidaklah wajib, namun keutamaan. Seandainya maju bersalaman satu persatu itu sebagai syarat keabsahan bai’at, tentu bagaimanapun Rasululloh akan memerintahkannya.

Maka berdasarkan riwayat tersebut para ulama tidak mewajibkan lagi masyarakat umum untuk berbaiat kepada Amir/ Imam/ pemimpin ummat, namun cukup dengan perwakilan mereka yang menyatakan Ikrar bakti/ Taslim kepada para pemimpin mereka.


صرح الحنابلة والشافعية بأن المعتبر في البيعة هم أهل الحل والعقد من العلماء ‏والرؤساء ووجوه الناس ، بخلاف العامة فإنهم لا يلزمهم مبايعة بالقول ولا بالحضور، بل ‏يلزمهم الطاعة وعدم الخروج، واعتقاد أنهم تحت أمر الإمام.‏


Madzhab Hanbaly dan Syafi’I menyatakan bahwa yang paling mu’tabar (yang memiliki argument terkuat) menyatakan bahwa Bai’at itu diberlakukan bagi Ahlul Halli wal Aqdy (pemimpin kelompok yang legitimated- lihat syarat Ahlul halli wal Aqdi) dari para ulama, pemimpin ummat dan perwakilan masyarakat. Berbeda dengan masyarakat umum, maka mereka tidak diwajibkan berbaiat dengan ikrar ataupun kehadiran. Yang wajib bagi mereka adalah taat dan tidak keluar dari ikatan suatu jama’ah (dalam hal ini daulah Islamiyyah/kepemimpinan Islam) dan berkeyakinan bahwa mereka tunduk dibawah urusan Imam/ pemimpin jama’ah tersebut.

وقال النووي رحمه الله في شرح صحيح مسلم :
أَمَّا الْبَيْعَة :
فَقَدْ اِتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهُ لا يُشْتَرَط لِصِحَّتِهَا مُبَايَعَة كُلّ النَّاس , وَلا كُلّ أَهْل الْحَلّ وَالْعِقْد , وَإِنَّمَا يُشْتَرَط مُبَايَعَة مَنْ تَيَسَّرَ إِجْمَاعهمْ مِنْ الْعُلَمَاء وَالرُّؤَسَاء وَوُجُوه النَّاس , . . . وَلا يَجِب عَلَى كُلّ وَاحِد أَنْ يَأْتِيَ إِلَى الأَمَام فَيَضَع يَده فِي يَده وَيُبَايِعهُ , وَإِنَّمَا يَلْزَمهُ الانْقِيَادُ لَهُ , وَأَلا يُظْهِر خِلافًا , وَلا يَشُقّ الْعَصَا اهـ

Dan hanyasanya berbaiat itu, para ulama telah sepakat bahwa sesungguhnya baiat itu tidak disyaratkan sahnya dengan berbaiatnya setiap manusia satu demi satu, tidak juga para Ahlul Halli wal Aqdi, namun yang disyaratkan bagi yang mudah untuk mereka berkumpul, dari para ulama, para pemimpin dan perwakilan masyarakat. Dan tidak wajib bagi setiap orang untuk datang kepada Imam, kemudian meletakkan tangannya dengan tangan Imam ketika membaiatnya, namun yang wajib bagi mereka adalah TUNDUK kepada pemimpin itu dan tidak menunjukkan perselisihannya dengan pemimpin tersebut.


Baiat, Tradisi Bagi Ahli Thoriqoh Dan Aliran Tertentu.


Walaupun para ulama sebagaimana dalam madzhab Syafi’I dan Hanbali tidak mewajibkan Baiat/ Taslim secara langsung berikrar dan bersalaman dengan guru/ pemimpin/ imam jama’ah, tradisi ini masih berlaku bagi para pelaku jama’ah Thoriqoh seperti Thoriqoh Naqsyabandiyyah, Thoriqoh Syadhiliyyah, Thoriqoh maulawiyyah dll, juga pada aliran tertentu yang mewajibkan baiat seperti LDII, ISIS, dll. Bagi para calon murid, mereka menghadap kepada calon guru mursyid/ amir dan pemimpin kelompoknya dan kemudian mereka mengucapkan ikrar Taslim kepada calon guru mursyid/ amir/ pemimpin kelompok tersebut.

Bagaimana Dengan Jama’ah Rifaiyyah?


Jama’ah Rifa’iyah pada awalnya ketika masa perjuangan juga melakukan hal ini. Namun kini, sebagian besar jama’ah telah meninggalkan kebiasaan ini berdasar dalil dan nash dari Imam Nawawy yang mewakili madzhab Syafi’I yang menyatakan bahwa baiat masyarakat umum sudah tidak diwajibkan lagi sebagaimana Rasululloh tidak lagi melakukan baiat orang per orang ketika manusia sudah memasuki agama Islam dengan berbondong- bondong setelah Fatkhu Makkah, karena yang dipentingkan bukan lagi ucapan, namun bukti ketasliman dan ketundukan mereka terhadap aturan dan syari’at yang ada. Walaupun demikian, praktek taslim/ dan baiat adalah sebuah keutamaan, tapi bukan untuk dipaksakan, berdasar firman Allah: لا إكراه في الدين "tak ada paksaan dalam agama" QS. Al Baqoroh 256. Wallohu a’lam.